Rabu, 28 September 2011

BPD Regional Champion Bukan Mimpi di Siang Bolong




Investasi TI yang mendukung layanan e-banking tidak bisa ditawar-tawar lagi jika ingin inisiatif BPD Regional Champion (BRC) tidak sekadar mimpi di siang bolong. BPD-BPD kecil lebih responsif. Kenapa? Darto Wiryosukarto
Pada 21 Desember 2010 bank pembangunan daerah (BPD) menyepakati komitmen bersama yang ditandatangani para direktur utama BPD, gubernur, serta ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi di seluruh Indonesia. Mereka sepakat 2011 adalah tahap implementasi dari “mimpi” mereka sebagai regional champion. Intinya, BPD berambisi menjadi bank utama di wilayah masing-masing.
Pada tahap ini ada hal yang menjadi prioritas dan fokus utama mereka, yakni mengatasi berbagai persoalan yang meliputi keterbatasan permodalan, brand awareness, dan kualitas layanan yang rendah, sumber daya manusia (SDM) yang belum sesuai dengan standar pasar, inovasi produk yang minim, serta jaringan yang masih terbatas.
Tak sekadar berkomitmen, mereka pun langsung menunjukkan kinerja yang terus menanjak sejak pencanangan BPD Regional Champion (BRC) tersebut. Hal ini bisa dilihat dari pergerakan kredit, dana pihak ketiga (DPK), dan aset yang terus membubung hampir di semua BPD.
Berdasarkan laporan Statistik Perbankan Indonesia (SPI) per Februari 2011, volume kredit BPD tumbuh 19,27% dibandingkan dengan Februari 2010, dari Rp122,36 triliun menjadi Rp145,95 triliun. DPK tumbuh 27,99% dibandingkan dengan bulan yang sama tahun sebelumnya, yaitu dari Rp164,54 triliun menjadi Rp210,59 triliun.
Aset BPD tumbuh 26,54% dari Rp205,75 triliun pada Februari 2010 menjadi Rp260,37 triliun pada Februari 2011. Kepemilikan aset dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok BPD beraset Rp1 triliun-Rp10 triliun sebanyak 15 bank dan kelompok BPD beraset Rp10 triliun-Rp50 triliun sebanyak 11 bank. Total jumlah kantor 26 BPD sebanyak 1.434 kantor.
Tak cukup sampai di situ, BPD-BPD gencar membenahi dan meningkatkan kualitas layanan, antara lain dalam hal layanan electronic banking (e-banking). Mereka sadar betul, jika ingin bersaing dengan bank umum untuk menjadi penguasa di daerah masing-masing, layanan e-banking BPD harus mampu menandingi atau setidaknya sejajar dengan layanan e-banking bank umum.
Perbaikan mutu layanan, termasuk e-banking, menjadi salah satu pilar utama BRC. “Apalagi layanan e-banking sudah menjadi kebutuhan mendasar bagi nasabah saat melakukan transaksi perbankan,” ujar Winny Erwindia, Ketua Umum Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda), kepada Infobank, Mei lalu.
Harus diakui, salah satu kelemahan BPD selama ini adalah dalam hal penyediaan produk dan layanan e-banking. Untuk pengembangan layanan tersebut diperlukan dukungan teknologi informasi (TI) yang memadai, yang tidak hanya memerlukan pasokan modal besar tapi juga ketersediaan tenaga TI yang andal. “Kami memang kekurangan SDM andal di bidang TI,” tutur Hafiz Nasution, Pemimpin Divisi Teknologi dan Akuntasi Bank Jatim, kepada Infobank, Mei lalu.
Untuk itu, pada ajang “BPD Forum 2011” yang berlangsung di Bali pada 5-7 Mei 2011, topik yang diangkat adalah terkait dengan peran TI, khususnya dalam hal layanan e-banking. Forum komunikasi BPD se-Indonesia yang digelar untuk ketujuh kalinya itu menghadirkan pakar-pakar di bidang TI dan e-banking, seperti Beta Petrarcha (IBM Indonesia), Agus Sumargono (Symantec Indonesia), Chandra Herawan (Cisco System), Felix Juarso (NRC Indonesia), Andreas Kagawa (VMware Indonesia), Fajar Hartono (Microsoft Indonesia), Bradley Prentice (Ingenico Singapore), dan Tom Gunadi (Acer Indonesia).
Acara yang dikemas secara interaktif oleh PT Multipolar Technology, perusahaan penyedia solusi TI untuk sektor perbankan, telekomunikasi, dan pelayanan umum, tersebut menghasilkan beberapa tawaran investasi di bidang TI. Tawaran ini merupakan solusi investasi TI yang dapat menjadi aset berharga dalam menyokong efisiensi bisnis dan layanan prima bagi nasabah serta dalam menyediakan produk variatif dan inovatif yang dapat meningkatkan daya saing BPD yang pada akhirnya mendorong pendapatan dan pertumbuhan BPD lebih cepat lagi.
Cisco System, misalnya, mengajukan solusi teknologi Inovative Branch Direct (IB-Direct). Teknologi ini menghadirkan teller via video (video teller) yang menggunakan virtual mesin. Selain itu, memungkinan nasabah berinteraksi dengan teller, tapi melalui mesin yang berfungsi layaknya teller.
“Video adalah alat yang efektif untuk perangkat social network. Di satu sisi mobilitas adalah prioritas bagi nasabah,” ujar Chandra Herawan, Senior Manager Collaboration Business Cisco System, saat memberikan paparan dalam forum BPD. Dibandingkan dengan mendirikan cabang, menurut Chandra, biaya (cost) untuk menghadirkan teknologi video teller jauh lebih murah.
Memang, kendala utama dalam menghadirkan teknologi e-banking adalah mahalnya investasi yang harus dikeluarkan. Namun, hal itu bisa disiasati dengan mengadopsi cloud computing, yakni memanfaatkan penggabungan teknologi komputer dan pengembangan berbasis internet. Dengan sistem tersebut, pengguna cukup mengakses layanan melalaui internet tanpa perlu menyediakan infrastruktur teknologi penyokongnya.
Cloud computing itu seperti kita memanfaatkan layanan PLN (Perusahaan Listrik Negara). Kita memakai produk mereka berupa listrik tanpa perlu mengetahui dan membeli perangkat untuk memproduksinya,” ujar Andreas Kagawa, Country ManagerVMware Indonesia, di forum yang sama.
Yang pasti, menurut Beta Petrarcha, Software Channels for Geographic Expansion Area IBM Indonesia, kehidupan saat ini makin smart, termasuk di bisnis perbankan. Karena itu, investasi TI untuk mengadopsi teknologi terbaru guna meningkatkan kualitas layanan agar makin smart tak bisa dihindarkan. “Yang cepat menghasilkan sesuatu, akan lebih baik dan lebih kompetitif,” jelas Beta.
Asbanda sebagai “induk” BPD se-Indonesia juga menyadari betul kebutuhan akan peningkatan kualitas pelayanan di bidang TI tersebut. Minimnya anggaran tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak melakukan investasi TI. “Cloud computing bisa dijadikan salah satu solusi supaya tidak menanggung beban sendiri,” tutur Winny Erwindia.
Apalagi, tambah Roy Simangunsong, Country Geographic Expansion Leader IBM Indonesia, secara teknologi BPD bisa digabungkan sistem TI-nya. Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana agar regulasi memungkinkan BPD untuk melakukan penggabungan sistem TI dengan tetap mengedepankan faktor security.
Jika solusinya adalah penggabungan sistem TI, sejatinya BPD-BPD sudah membuat langkah maju dengan meluncurkan BPD Net Online yang memungkinkan melakukan transaksi antar-BPD. Namun, sejak diluncurkan tiga tahun silam, pelaksanaannya belum optimal. Dari 26 BPD anggota Asbanda, baru 16 BPD yang siap dan sebagian besar di antaranya justru BPD-BPD kecil. “Mereka merasa jika beban dipikul sendiri akan berat, maka BPD kecil lebih responsif,” tandas Winny. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar